Langkah Konstitusional DPR RI itu Dibolehkan, Namun Momentumnya Tidak Tepat.

  

Keterangan Foto: Ketua Konsorsium Penegakkan Hukum Indonesia (KOPHI) Rudy Marjono.


Jakarta. - Kegaduhan yang terjadi kemarin terkait DPR RI akan menempuh jalur konstitusional untuk menganulir putusan MK no. 60 dan no. 70 adalah hal yang sah sebenarnya dan tidak menyalahi undang-undang, namun momentumnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan sehingga hal ini bikin kemarahan rakyat dengan demo besar-besaran di berbagai daerah.


 Melihat fenomena ini Ketua Konsorsium Penegakkan Hukum Indonesia (KOPHI) Rudy Marjono  tidak tinggal diam sehingga tergerak untuk menyampaikan pendapatnya saat dihubungi rekan media , Rudy menyampaikan bahwa,  " Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu tidak hanya mengikat para pihak pengaju tetapi juga harus ditaati oleh siapapun. Sehingga putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain. Nah disini berlaku Asas " Erga ornes " asas yang merefleksikan kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya secara publik maka berlaku pada siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara, sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (1) berikut penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi :


“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.


Menurut. Rudy, Asas erga omnes tersebut tercermin melalui frasa "sifat final dan mengikat" dalam sebuah putusan MK . Tindakan DPR RI sebenarnya tidak merubah putusan MK karena sudah final and binding , sehingga cara mensiasatinya dengan dibuatkannya UU baru, nah di sini titik permasalahannya, sehingga publik melihatnya ini sepertinya akal-akalan kelompok elit politik yang pro rezim yang tidak mau konstelasi yang sudah dibangun selama ini dengan skenario yang mudah kita baca arahnya ke mana, dengan adanya putusan MK semuanya bisa jadi berantakan, karena akan memunculkan kandidat-kandidat lainnya yang dapat bertarung di pilkada, ujar Rudy Marjono, S.H. Kepada awak media di Jakarta, Sabtu, 24 Agustus 2024.


"Tidak ada yang salah yang dilakukan DPR RI untuk membuat UU baru untuk merubah  aturan main dalam Pilkada, namun tidak Lazim karena kesannya dipaksakan,  dan  terburu-buru sehingga yang dibaca publik adalah penjegalan konstitusi, dan karena kontestasi Pilkada sarat dengan kepentingan politik, menciptakan ledakan penolakan yang dahsyat. Dan seandainya DPR RI mau saja bersabar, dan menunda tahun depan saya rasa tidak bakalan terjadi kegaduhan seperti kemarin. Sebab UU bikinan yang baru nantinya masih bisa di MK kan lagi kan ketika tidak memenuhi rasa keadilan," terang Rudy menutup pembicaraan.(Dody)

[23/8 17.14] 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Matinya Demokrasi Kampus Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama)

PT. Bina Indocipta Andalan bekerjasama dengan DJP mengadakan Webinar dengan tema "Pemadanan NIK Menjadi NPWP"

Advokat Hartono Tanuwidjaja, S.H.,M.H sebagai Kuasa Hukum Penggugat Harapkan Sidang Kedepan Tahap Mediasi